-->

Hukum Nikah Mut'ah - MUI

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

Memperhatikan:


  1. Surat Sekretaris Jendral Departemen Agama RI nomor: BVI/4PW.01/4823/1996 tanggal 11 Oktober 1996, perihal “perlu dikeluarkan fatwa tentang kawin mut'ah”.
  2. Surat Dewan pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin Nomor: 35/IM/X/1997 Oktober 1997 perihal “Keputusan Bahtsul Masail” yang dikeluarkan pada 3-5 Oktober 1997 di Bogor tentang antara lain nikah mut'ah.
  3. Makalah yang disampaikan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML berjudul tentang Hukum Nikah Mut'ah dan makalah yang disampaikan oleh KH. Ma'ruf Amin dan Muh. Nahar Nahwari berjudul Mencermati Hukum Nikah Mutah yang disampaikan pada Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 25 Oktober 1997 yang membahas tentang nikah mut'ah.
  4. Pendapat, usul dan saran dari para peserta Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 25 Oktober 1997.

Menimbang:


  1. Bahwa nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara umat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa.
  2. Bahwa praktek nikah mut'ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi'ah di Indonesia.
  3. Bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi'ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut'ah secara khusus.
  4. Bahwa oleh karena itu perlu segera dikeluarkan fatwa tentang nikah mut'ah oleh Majelis Ulama Indonesia.

Mengingat:


1. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut'ah, antara lain:

Firman Allah SWT: “Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka, maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela”. (QS. Al mukminun [23] : 5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariyah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariyah. Ia bukan jariyah, karena akad mut'ah bukan akad nikah dengan alasan sebagai berikut:
  1. Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
  2. Iddah Mut'ah tidak seperti iddah nikah biasa.
  3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut'ah.
  4. Dengan melakukan mut'ah seseorang tidak dianggap menjadi muhshan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut'ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariyah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut'ah termasuk didalam firman Allah: “Barangsiapa mencari selain dari pada itu maka mereka itulah orang yang melampaui batas”. (QS. Al Mukminun [23] : 7), darurat, kembali dilarang oleh Rasulullah SAW sebagaimana diketahui dari perkataan “Tsumma Nuhii `anhaa” dalam hadits tersebut.

2. Nikah mut'ah bertentangan dengan tujuan pensyari'atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan.

3. Nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia (antara lain UU. Perkawinan Nomor 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada pemerintah (ulil amri), berdasarkan antara lain:
  1. Firman Allah: “Hai orang beriman! Taatilah Allah dan RasulNya, dan ulil amri diantara kamu…”. (QS. An Nisa [4] : 59).
  2. Kaidah Fiqhiyyah: “Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat”.

Dengan memohon taufiq dan hidayah dari Allah SWT.

MEMUTUSKAN


Menetapkan:
  1. Nikah mut'ah hukumnya adalah HARAM.
  2. Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1997.

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua Komisi Fatwa MUI: Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML.
Ketua Umum: KH. Hasan Basri.
Sekretaris Umum: Musytari Yusuf LA

Jika ingin mendownload hasil fatwanya, silahkan klik DISINI

Share:
Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
Copyright 2017 © e-FATWA | Created by Blagioke - Supported by Ngonline06